MAJELIS TA’LIM WA DZIKIR
“AHBABUL MUSTHOFA”
Jl. Projosumarto I Kaligayam Rt.15/04 Talang – Tegal
Telp. (0283) 350626 / 0815 6923 853
IKHLAS
( BENTENG MENGATASI GODAAN SETAN )
Jika ikhlas merupakan faktor penting diterimanya amal di
sisi Allah, maka riya' dan sum'at merupakan penghalang pahala bagi amal. Sikap
ikhlas sangat terpuji dalam pandangan Allah dan juga di mata manusia. Seseorang
yang ikhlas tidak akan membedakan amal di hadapan orang lain atau ketika sedang
sendiri. Orang yang ikhlas tidak memerlukan saksi
atas amalnya selain Allah SWT. Oleh sebab
itu, mereka yang ikhlas akan sangat identik dengan sikap istiqamah. Tak ada
kekeramatan yang lebih besar dari pada sikap istiqamah. Orang Sufi bilang, "Al-istiqamah 'ainul-karamah" (Kekeramatan itu
pada dasarnya adalah sikap istiqamah).
Ikhlas juga merupakan wujud dari
sikap ihsan. Ihsan adalah sikap merasa berada di hadapan atau dalam pengawasan
Allah ketika sedang beribadah. Ihsan
merupakan kelengkapan iman dan Islam. Ia juga merupakan perbuatan hati
sebagaimana iman. Ikhlas merupakan penyebab amal menjadi terasa tidak berat dan
membuahkan istiqamah. Ikhlas merupakan karunia Allah yang luar biasa bagi
orang-orang mukmin yang dipilihNya. Tidak semua orang mampu selalu bersikap
ikhlas.
Dalam kehidupan beragama
menyangkut keimanan secara umum, lawan dari kata ikhlas adalah nifaq.
Orang-orang munafik adalah mereka yang tidak tulus dalam kehidupan beragama. Mereka hanya menghindarkan diri dari sanksisanksi hukum
duniawi atau melakukan sesuatu hanya untuk meraup keuntungan duniawi semata.
Mereka adalah orang-orang yang penuh kepura-puraan dalam amal, yang pada
dasarnya bukanlah orangorang yang beriman dengan benar. Orang-orang seperti
mereka laksana duri dalam daging atau bara dalam sekam bagi umat Islam. Agama sering dirugikan oleh orang-orang semacam itu.
Semua manusia di muka bumi menjadi sasaran godaan
Iblis dan anak-cucunya sesuai dengan sumpah Iblis di hadapan Allah SWT. Iblis
tidak hanya menggoda manusia dengan perbuatan maksiat, tetapi akan memasuki
segala ranah kehidupan manusia termasuk sisi amal baik mereka. Cara paling
halus yang dilakukan oleh setan dalam menggoda manusia adalah melalui amal
baik. Jika amal sudah termotivasi oleh selain keinginan menggapai keridhoan
Allah SWT, maka ia sudah terkontaminasi oleh godaan setan. Karenanya, kita harus waspada dalam segala hal termasuk
amal baik sekali pun. Sebab, jika setan gagal menggoda manusia melalui pintu
maksiat, maka ia akan berusaha memasuki pintu amal saleh. Ini bisa lebih rawan
karena merupakan godaan yang lebih halus.
Karena itulah maka tak ada orang yang beruntung di dunia
ini melebihi orangorang yang ikhlas. Hanya merekalah orang-orang yang terhindar
dari godaan setan sebagaimana firman Allah menyangkut sumpah setan atas umat
manusia yang artinya :
Ia
(Iblis) berkata, "Tuhanku, oleh karena Engkau telah memutuskan bahwa aku
sesat, sungguh aku pasti akan jadikan (maksiat) terasa indah bagi mereka di
bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambaMu yang
terpilih (dijadikan orang yang ikhlas) di antara mereka.” (QS Al-Hijr [15]:
39-40)
Dari ayat di atas maka jelaslah bahwa ikhlas merupakan
jurus ampuh untuk menangkal godaan setan. Tentu saja ikhlas merupakan sikap
yang tidak mudah untuk dipraktekkan. Ikhlas membutuhkan pelatihan yang
terus-menerus dan sungguh-sungguh. Kita harus bisa melatih diri agar motivasi
amal kita semata hanya karena Allah SWT. Kondisi atau situasi apa pun selain
Allah tidak boleh menjadi motivasi yang melatar-belakangi suatu amal atau
meninggalkannya. Di hadapan orang atau ketika sedang sendiri, ia tidak boleh
menjadi pembeda amal kita.
Ketika menjadi imam shalat , kita tidak seharusnya
memanjangkan surat yang kita baca agar terkesan lebih khusyu’ sementara tidak
demikian ketika shalat sendiri. Atau sengaja melakukan sedekah ketika berada di
antara orang banyak. Dua hal di atas barangkali bisa menjadi sedikit contoh
amal yang tidak ikhlas.
Tetapi tentu saja kita dilarang
berprasangka buruk kepada orang lain bahwa mereka melakukan amalnya dengan
tidak ikhlas. Sikap su'udzon atau berprasangka buruk juga merupakan perilaku
yang jauh dari ikhlas. Kita
tidak berhak menilai amal seseorang ikhlas atau tidak. Itu cuma wilayah Allah
semata dan bukan wilayah kita. Kita wajib melatih dan menanamkan sikap ikhlas
pada diri sendiri sebelum mengajarkannya kepada orang lain. Jadi kewajiban kita
adalah mengajarkan sikap ikhlas ini kepada orang lain, bukan menilai amal
mereka ikhlas atau tidak ikhlas.
Jika pada mulanya ikhlas sulit
dilakukan oleh seseorang, maka bukan berarti orang lantas meninggalkan amal.
Bagaimana pun juga kewajiban tetaplah kewajiban yang harus ditunaikan, dengan
ikhlas atau tidak. Selagi kewajiban tidak dilaksanakan, maka seseorang tetap
memiliki hutang dan kewajibannya belum gugur baginya dan harus
dipertanggung-jawabkan kelak. Orang yang sudah mengerjakan kewajibannya meski
pun tidak ikhlas, minimal sudah menggugurkan kewajiban. Begitu pula halnya
dengan menjauhi larangan atau maksiat. Ikhlas atau tidak, kita wajib menjauhi
segala perbuatan maksiat itu.
Orang yang menunggu ikhlas untuk
melakukan suatu amal sama saja dengan tidak ikhlas. Keikhlasan memang amat penting,
tapi bukan berarti amal, terutama yang wajib, harus menunggu. Untuk mewujudkan
keikhlasan maka seseorang harus banyak berlatih dan lebih "mengenal"
Allah SWT. Orang yang ma'rifat (mengenal) Allah melalui sifat-sifatNya akan
ebih bisa bersikap ikhlas dalam amalamalnya.
Sebab orang yang ma'rifat kepada Allah menyadari bahwa yang memberi manfaat
atau bahaya hanyalah Allah. Maka tak ada perlunya memiliki tujuan selain Allah.
Jika dia mengerti
bahwa Allah-lah yang
memerintahkannya untuk beramal saleh, maka apa untungnya memandang selain
Allah? Jika yang memberi pahala adalah Allah, maka apa artinya motivasi selain
karena Allah?
Jika segala puji hanya milik-Nya, maka untuk apa
mengharap pujian makhluk? Jika selain Allah adalah makhluk yang sama dengan kita,
maka apa alasan bergantung kepada mereka? Jika demikian halnya, maka tak ada yang patut menjadi
motivasi suatu amal selain Tuhan. Orang yang demikian hanya melihat Tuhannya
yang Maha Berhak atas amal-amalnya, sebab dia juga sadar bahwa dirinya bisa melakukan
amal itu tak lain karena pertolongan Tuhannya.
Ikhlas itu terdiri dari tiga tahap: Pertama, seseorang
mungkin saja termotivasi dalam amalnya oleh janji Allah SWT berupa surga dan
segala kenikmatannya atau ingin mendapatkan ridho-Nya. Atau rasa takut masuk ke
dalam neraka sebagaimana ancamanNya. Ini merupakan sikap ikhlas paling rendah.
Orang yang seperti ini bisa saja enggan beribadah sekiranya Allah tidak
menjanjikan surga atau mengancamnya dengan neraka. Tetapi hal ini masih disebut
ikhas, sebab surga dan neraka masih merupakan hal asbtrak dan belum nyata dalam
kehidupan dunia ini. Jika amal seseorang tidak karena motivasi demikian itu,
maka ia termasuk kategori riya' atau sum'at yang tercela itu.
Kedua adalah bahwa seseorang menjalankan ibadah atau amal
saleh lainnya karena ia merasa diperintah oleh Allah SWT
sebagai Tuhannya yang telah memberinya nikmat yang tiada terhitung. Ia sadar
bahwa ia harus mengimbangi nikmat Allah itu dengan ibadahnya sebagai ungkapan
rasa syukur kepada-Nya.
Orang dengan
ikhlas tingkat ini tidak lagi sekedar ingin masuk surga atau takut masuk
neraka, tetapi lebih merasa bahwa perintah Tuhan harus dijalaninya untuk bisa
menjadi seorang hamba yang baik. Ia senantiasa ingin menjadi hamba yang pandai
bersyukur dengan hati, lisan dan segenap organ tubuhnya.
Ketiga adalah sikap ikhas paling
tinggi, yakni di mana seseorang sudah merasa "menyaksikan" Tuhannya.
Dia menyaksikan segala keindahan, kesempurnaan dan keagungan Tuhannya, sehingga
Tuhannya pantas dan sudah semestinya disembah, disucikan dan diagungkan. Orang
semacam ini akan cenderung menganggap ibadah sebagai sebuah kebutuhan baginya,
dan bukan lagi sekedar sebuah kewajiban. Tak ada apa pun yang wujud dalam
hakikatnya selain Allah, dan bahwa dirinya sama sekali bukanlah apa-apa. Orang
yang berada pada tingkat ikhlas inilah yang disebut dengan istilah al-'arif
billah atau al-wasil ilallah.
Dalam istilah tasawuf, orang
seperti ini juga disebut telah memasuki "area" Tuhan, dimana dia
tidak lagi menyaksikan apa pun selain eksistensi Tuhannya. Hanya Tuhannya Yang
Maha Ada. Jika demikian halnya, maka tak ada kondisi atau situasi apa pun yang
akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas ibadahnya. Hidupnya akan ditotalkan
untuk kegiatan ibadah kepada Allah SWT. Tak ada apa pun yang penting dalam
pandangannya selain kegiatan beribadah kepada Tuhannya. Ikhlas juga merupakan
kunci seorang hamba untuk bisa bertemu dengan Tuhannya kelak. Allah SWT
berfirman yang artinya :
"
K a t a k a n l a h ( M u h a m m a d ) , "Sesungguhnnya aku ini hanyalah
seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu, bahwa sesungguhnya
Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa." Maka barangsiapa mengharap
pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah
dia mempersekutukan dengan siapa pun dalam beribadah kepada Tuhannya." (QS
Al-Kahfi [18] : 110)
Jika kita mengaku sebagai pengikut Al Qur’an dan sunnah
Rosul, tentu kita wajib berusaha menjadi umat yang senantiasa melestarikan
nilai-nilai keimanan dan meningkatkan amal saleh baik secara kuantitatif dan
kualitatif. dengan ikhlas dan tulus dalam beramal. Ikhlas di sini menyangkut
amal ibadah mahdhah atau vertikal mau pun ibadah yang terkait dengan sesama
manusia atau muamalat. Ikhlas merupakan sikap para hamba Allah yang sejati,
orang-orang yang istiqamah dengan amal salehnya dalam segala situasi dan
kondisi.
Dari sisi bahasa, kata ikhlas berarti
"tulus" atau "memurnikan.” Menurut terminologi Syara', kata
ikhlas berarti memurnikan amal semata-mata hanya karena Allah SWT. Ikhlas
merupakan perbuatan hati dan bukan merupakan sesuatu yang kasat mata seperti
amal-amal lahiriah. Sekali pun demikian, ikhlas bisa saja menjadi
"tampak" karena beberapa indikator amal yang muncul dan identik
dengan sikap ikhlas itu sendiri. Yang pasti bahwa sikap
ikhlas yang ada pada seseorang hanya Allah SWT yang
mengetahuinya. Ikhlas bukan suatu sikap yang bisa diwakili oleh sebuah
pengakuan.
Ikhlas adalah jiwa bagi amal. Tanpa keikhlasan, sebuah
amal menjadi minim nilai, sering tak bertahan lama atau boleh jadi tidak
berpahala. Lawan dari ikhlas adalah riya' atau sum'at (suka pamer). Riya’
terjadi karena motivasi amal seseorang bukan semata-mata karena Allah SWT. Bisa
saja karena ingin dipuji, mendapatkan nama baik, ketenaran atau bahkan untuk
menutupi cela diri. Riya' dan sum'at bisa
terkait dengan melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya. Jadi seseorang
yang meninggalkan suatu amal karena orang lain juga termasuk tindakan riya'
yang juga dicela oleh agama.
-------------Tim Redaksi Ahbabul Musthofa---------------
Team Redaksi :
Penerbit
: Majelis Ta’lim (MT) Ahbabul Musthofa Jl. Projosumarto I Kaligayam
Rt.15/04 Talang – Tegal; Pendiri/Pembina : Habib Mahdi Al Hiyed;
Pimpinan Redaksi : Habib Balgis Al Ba’bud; Editor : M. Khaerul Anam; Tim
Creatif : Salafudin, Jamaludin, Alyan Fatwa dkk. Email/FB:
markaz_ahbabul_musthofa@yahoo.com
Saran & Kritik Kirimkan Ke : 085642590586 / 081902756227
Tidak ada komentar:
Posting Komentar